Yuk, Belajar Disiplin dari Sosok Al-Muzani dan Al-Shafi’i

MA’HADALYALTARMASI, PACITAN – Di zaman modern, kemudahan akses informasi sering menimbulkan dilema baru dalam proses pembelajaran dan pengembangan diri. Generasi saat ini sangat dipengaruhi oleh budaya instan, di mana segala sesuatu ingin cepat diperoleh, cepat dipahami, dan cepat selesai. Dalam konteks ini, kita perlu belajar dari kisah klasik antara Al-Muzani dan Al-Shafi’i, sosok ulama besar yang tidak hanya menjaga khazanah keilmuan Islam, namun juga memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya ketekunan dan kesabaran dalam menuntut ilmu. Dalam Al-Qadhi Al-Husain, At-Ta’liqah, Juz 1, Halaman 110 terdapat makalah sebagai berikut:

والمزني: كان رجلا بليدًا، فقال له الشافعي رحمه الله كنت بليدًا، فخرجتك المواظبة.

“Al-Muzani adalah orang yang lamban, lalu Al-Shafi’i berkata kepadanya: ‘Aku dulu pun lamban, tapi aku berhasil keluar dari kondisi itu dengan kedisiplinan.’”

Ucapan Imam Al-Shafi’i seakan menyiratkan bahwa kelemahan atau kekurangan bukanlah batas akhir seseorang, melainkan titik awal yang harus diatasi melalui kedisiplinan/ ketekunan. Ketekunan bukan sekadar usaha sesaat, melainkan proses konsisten yang mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Kisah yang menjadi pengingat bagi kita, terutama generasi yang terbiasa dengan kecepatan dan instan, bahwa proses belajar yang bermakna membutuhkan waktu dan usaha yang terus menerus.

Ketika seseorang merasa kesulitan atau lambat dalam memahami sesuatu, kegigihan dan konsistensi adalah jalan keluar. Dalam dunia yang penuh distraksi digital, godaan untuk menyerah atau mencari jalan pintas sangat besar. Oleh karena itu, pesan dari Al-Shafi’i ini mengajak kita merenungkan ulang sikap kita terhadap kesulitan belajar: bukan sebagai hambatan permanen, tetapi sebagai tantangan yang dapat dilampaui dengan ketekunan.

Selanjutnya, Al-Muzani melihat betapa luas dan kompleks karya Al-Shafi’i:

ثم المزني لما رأي كثرة تفريعات الشافعي، وكثرة كتبه استكثره، فاختصر منه كتابًا سماه جامع الكبير، وكان كتابًا حسنا بالغًا، ولم يوجد ذلك الكتاب في ديار خراسان بالتمام،

“Kemudian ketika Al-Muzani melihat banyaknya cabang ilmu yang dikembangkan Al-Shafi’i dan banyaknya kitab yang ditulis, ia merasa terlalu banyak, lalu ia merangkum menjadi sebuah kitab yang disebut Al-Jami’ Al-Kabir, yang merupakan kitab bagus dan lengkap, yang tidak sepenuhnya ada di wilayah Khurasan.”

Saya sangat perlu menuliskan ini, agar menunjukkan bagaimana ilmu yang luas harus disederhanakan agar dapat diakses dan dipahami tanpa menghilangkan esensi. Proses ringkasan ini bukan sekadar memangkas, tetapi memilih dan menyusun ulang pengetahuan agar lebih terorganisir dan mudah dicerna. Ini penting karena banyak orang yang terkadang kewalahan dengan terlalu banyak informasi yang tidak terstruktur.

Dalam konteks sekarang, kita sering mengalami overload informasi—banjir data yang sulit dipilah. Kisah ini mengajarkan bahwa kurasi dan seleksi informasi adalah kemampuan yang sangat diperlukan. Ilmu yang efektif adalah ilmu yang tidak hanya lengkap, tetapi juga mudah dipahami dan diaplikasikan.

Namun, Al-Muzani tidak berhenti sampai di sana. Ia merasa bahwa ringkasan tersebut masih terlalu panjang, sehingga dibuatlah ringkasan dari ringkasan itu, bahkan hingga ke buku yang membahas bagian-bagian kecil secara mendetail:

ثم استكثره فاختصر منه هذا المختصر، الذي تداوله الفقهاء، ثم استكثر هذا المختصر فصنف كتابًا في جزئيات.

“Kemudian ia merasa ringkasan itu masih terlalu banyak, sehingga ia membuat ringkasan dari ringkasan itu, yang dikenal oleh para fuqaha (ahli fiqih), dan akhirnya ia membuat buku yang khusus membahas bagian-bagian kecil (detil).”

Saya yakin bahwa proses yang dilalui al-Muzani menggambarkan siklus penting dalam pengelolaan ilmu: antara kebutuhan untuk menyederhanakan agar mudah diakses dan kebutuhan untuk mendalami setiap detail secara khusus. Ini merupakan keseimbangan yang harus dicapai agar ilmu tidak menjadi dangkal namun tetap praktis dan aplikatif.

Kita bisa mengambil pelajaran bahwa tidak ada jalan pintas dalam ilmu. Sering kali, proses belajar memerlukan pengulangan dan penyederhanaan agar dapat dipahami secara umum, namun juga harus disertai dengan pendalaman untuk menguasai detail kritis. Dalam budaya instan, kecenderungan untuk melewati tahap pendalaman inilah yang sering membuat pengetahuan menjadi dangkal dan mudah terlupakan.

Kisah ini juga mengandung refleksi filosofis bahwa ilmu adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran dan ketekunan. Tidak ada ilmu yang bisa dikuasai dengan sekejap, apalagi jika ingin memperoleh pemahaman yang mendalam dan aplikatif.

Ketekunan (مواظبة) bukan hanya disiplin belajar, tetapi juga keterbukaan mental untuk terus memperbaiki diri, menerima kritik, dan melakukan evaluasi diri. Dengan demikian, proses belajar menjadi dinamis dan progresif.

Refleksi lain yang dapat dipetik adalah bagaimana generasi saat ini menghadapi tantangan besar dalam menyikapi kecepatan informasi. Dengan adanya teknologi digital, informasi yang diperoleh sangat cepat dan mudah, namun ini bukan berarti pemahaman dan kedalaman ilmu juga meningkat.

Banyak orang mengalami kesulitan membedakan informasi yang valid dan penting dari yang sekadar permukaan. Akibatnya, pembelajaran menjadi fragmentaris dan mudah terputus. Cerita Al-Muzani mengingatkan bahwa perlu ada usaha sadar untuk mengorganisir ilmu, memahami konteks, dan menyelami detail secara bertahap.

Dalam perspektif ini, pendidikan modern dan proses pembelajaran harus menyeimbangkan antara kecepatan dan kedalaman. Sistem pendidikan yang efektif adalah sistem yang mampu mengajarkan tidak hanya bagaimana mendapatkan informasi, tetapi juga bagaimana menyeleksi, menganalisis, dan mengintegrasikan ilmu secara sistematis.

Selain itu, kisah ini juga mengajarkan kita pentingnya sikap rendah hati dalam menuntut ilmu. Al-Shafi’i sendiri mengakui bahwa ia pernah lamban, dan ia menyampaikan bahwa ketekunanlah yang membawanya maju. Sikap rendah hati ini sangat penting agar kita tidak cepat merasa cukup atau puas diri dalam belajar.

Kisah Al-Muzani dan Al-Shafi’i memperlihatkan pentingnya warisan intelektual. Al-Muzani meneruskan dan merangkum karya Al-Shafi’i agar ilmu tersebut bisa lebih mudah diakses oleh generasi berikutnya. Ini menjadi pengingat bahwa proses belajar tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga sebagai kontribusi bagi komunitas dan peradaban.

Mengaitkan dengan kondisi generasi saat ini, tantangan terbesar bukan hanya dalam memperoleh ilmu, tetapi juga dalam mempertahankan dan mengembangkan ilmu tersebut agar tidak hilang atau terlupakan. Dalam dunia yang bergerak cepat, keterampilan menyimpan dan mengelola ilmu menjadi sangat penting.

Akhirnya, kisah ini menegaskan bahwa proses belajar dan pengembangan diri tidak bisa dipaksakan untuk cepat selesai. Ilmu dan keterampilan sejati lahir dari proses berulang, bertahap, dan konsisten. Budaya instan harus ditanggapi dengan sikap bijak, agar kita tidak kehilangan esensi dan kekayaan ilmu itu sendiri.

Kisah Al-Muzani dan Al-Shafi’i menjadi cermin bagi kita dalam menghadapi tantangan zaman sekarang. Ketekunan adalah pondasi utama dalam belajar, dan proses penyederhanaan ilmu harus diiringi dengan pendalaman yang cermat. Dalam era informasi yang cepat dan mudah, kita perlu kembali menghargai proses belajar yang berkelanjutan, reflektif, dan bertanggung jawab. (*)

Penulis : Zanuar Mubin, M.E., Muhadir Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan, Alumni Beasiswa LPDP Turats Maroko

Leave a Comment