Mudir Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan Tekankan Mahasantri Serius Dalami Fikih
MA’HADALYALTARMASI, PACITAN – Ada suasana berbeda di Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan ketika KH. Luqman Al-Hakim Harits Dimyathi hadir langsung mengisi pengajian. Pengasuh Pondok Tremas sekaligus Mudir Ma’had Aly ini membacakan dan menguraikan Mukaddimah Kitab Asybah wa Nadzhair karya ulama besar, Imam Jalaluddin al-Suyuthi.
Bagi para mahasantri, kesempatan ini terasa istimewa. Sebab, kitab yang dikaji bukanlah teks biasa, melainkan karya penting dalam tradisi fikih Islam. Kitab ini membahas cabang-cabang fikih (furu’) sekaligus kaidah-kaidahnya, sehingga sangat relevan dengan fokus kajian Fikih wa Ushuluhu yang dipelajari para santri.
“Melalui kitab ini, para mahasantri diharapkan mampu menginterpretasikan nilai-nilai agama dari nash syariat sekaligus mengontekstualisasikannya dalam kehidupan modern,” terang KH. Luqman.
Fikih yang Digambarkan Seperti Lautan dan Taman
Dalam mukaddimah kitabnya, Imam al-Suyuthi menempatkan ilmu fikih pada posisi sangat mulia. Ia menggambarkannya dengan perumpamaan indah yang begitu mudah membekas di hati.
“Fikih bagaikan lautan luas yang tidak pernah surut, taman yang senantiasa subur, dan bintang-bintang yang gemerlap di langit. Dasar-dasarnya begitu kokoh, cabang-cabangnya sistematis, dan keberkahannya tidak akan habis meskipun terus-menerus dipelajari,” tulis al-Suyuthi.
Tak hanya itu, para ahli fikih juga diposisikan sebagai penopang utama agama. Mereka disebut sebagai pewaris para nabi, penerang dalam kegelapan, sekaligus rujukan dalam fatwa dan pengajaran. Bahkan, kedudukan ulama fikih digambarkan lebih tinggi dibanding para raja, sebab keilmuan mereka mampu memberi arah bagi umat.
Tidak Bisa Didapat dengan Angan-Angan
Namun, keutamaan itu bukanlah sesuatu yang bisa diraih dengan jalan singkat. Imam al-Suyuthi mengingatkan, ilmu fikih tidak bisa diperoleh hanya dengan berangan-angan atau setengah hati.
Ilmu, kata beliau, menuntut kesungguhan. Seorang pencari ilmu harus rela meninggalkan kenyamanan duniawi, menguatkan tekad, konsisten hadir di majelis ulama dalam keadaan apa pun, serta tekun mengulang pelajaran lewat membaca dan menulis.
Dengan cara itu, seorang santri akan bisa mendekati derajat para ulama terdahulu (mutaqaddimin) yang bukan hanya ahli dalam hukum, tapi juga mampu menemukan hikmah yang menjadi pegangan hidup masyarakat.
Pesan Imam al-Suyuthi inilah yang kemudian ditekankan kembali oleh KH. Luqman. Ia menegaskan, menuntut ilmu membutuhkan keseriusan penuh.
“Ilmu tidak bisa diperoleh hanya dengan tamanni (angan-angan). Harus ada tarajji (kesungguhan) yang diwujudkan dalam kerja keras,” ucapnya.
KH. Luqman lalu mengajak para santri untuk merenung: apakah proses belajar mereka selama ini sudah sungguh-sungguh, atau baru sebatas harapan tanpa usaha nyata? Pertanyaan reflektif itu, menurutnya, penting agar santri tidak terlena dan tetap berkomitmen menjaga warisan ulama.
Dengan begitu, fikih menjadi pedoman hidup yang akan terus relevan lintas zaman. Mahasantri dituntut tidak hanya menguasai teks, tetapi juga mampu menghubungkannya dengan realitas kehidupan modern sehingga nilai-nilai agama yang diwariskan para ulama bisa tetap hidup dan membimbing umat. (*)