Seni Memahami Kehendak Tuhan

Oleh: Zanuar Mubin, Muhadir Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan

Di tengah dunia modern yang serba cepat, ilmu fikih terus menghadapi tantangan besar berupa bagaimana tetap relevan tanpa kehilangan akar kedalamannya. Kecenderungan praktis dan teknologis sering membuat hukum agama direduksi menjadi jawaban instan tanpa subtansi yang jelas, sementara tradisi keilmuan Islam menuntut ketekunan, ketelitian, dan perenungan mendalam. Di sinilah pentingnya menengok kembali jejak ulama klasik.

Para fuqaha terdahulu telah meletakkan dasar epistemologis yang kuat. Mereka tidak hanya membahas hukum halal dan haram, tetapi juga menanamkan etika berfikir, metode istinbath, dan tanggung jawab moral dalam setiap fatwa. Dalam khazanah klasik, kita menemukan keseimbangan antara teori dan praktik, antara ideal hukum dan realitas sosial.

Salah satu sumber dalam memahami tingkatan keilmuan para fuqaha yang ingin saya hadirkan kali ini adalah karya Imam al-Subki. Dalam Fatawa al-Subki (2/131), beliau menulis:

“اعلم يا أخي أن ‌العلماء ‌الكاملين ‌المبرزين يجيئون من الفقه على ثلاث مراتب”

“Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa para ulama yang sempurna dan terkemuka datang dari tiga tingkatan dalam ilmu fikih.”

Tingkatan pertama yang dijelaskan al-Subki adalah:

  1. Pengetahuan fikih dalam dirinya sendiri (معرفة الفقه في نفسه).

“وهو أمر كلي؛ لأن صاحبه ينظر في أمور كلية وأحكامها كما هو دأب المصنفين والمعلمين والمتعلمين، وهذه المرتبة هي الأصل”.

“Ini adalah perkara yang bersifat universal; pemiliknya memandang hukum secara menyeluruh sebagaimana kebiasaan para penulis, pengajar, dan pelajar. Tingkatan ini merupakan dasar.”

Tingkatan pertama tersebut, menggambarkan tahap konseptual dalam pembelajaran hukum Islam. Seorang pelajar belum menafsirkan realitas sosial, tetapi memperdalam prinsip dan kaidah. Di era digital, tahap ini sering diabaikan, padahal tanpa fondasi teoretis, pemahaman fikih akan rapuh dan mudah terombang-ambing oleh opini populer.

Imam Al-Subki kemudian beranjak pada tingkatan kedua:

  1. Tingkatan Mufti (مرتبة المفتي) yang menurunkan hukum dari kaidah umum ke persoalan spesifik.

“فعلى المفتي أن يعتبر ما يسأل عنه وأحوال تلك الواقعة، ويكون جوابه عليها فإنه يخبر أن حكم الله في هذه الواقعة كذا”.
“Seorang mufti harus memperhatikan apa yang ditanyakan dan keadaan kasus yang dihadapi, lalu menjawab bahwa hukum Allah dalam kasus itu adalah demikian.”

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa fatwa bukan sekadar hafalan teks, tetapi hasil interaksi antara hukum dan konteks. Mufti berusaha dengan segenap kemampuannya membaca realitas sosial dengan mata hukum dan membaca hukum dengan nurani sosial.

Dalam refleksi tantangan modern, hal ini berarti seorang ahli fikih harus memahami perubahan sosial, teknologi, dan budaya sebelum menetapkan hukum. Fikih tidak boleh kering dari empati, sebab mufti bukan mesin hukum, melainkan penjaga keseimbangan antara nash dan maslahat manusia.

Tingkatan ketiga yang disebut al-Subki:

  1. Tingkatan Hakim (مرتبة القاضي).

“وهي أخص من رتبة المفتي؛ لأنه ينظر فيما ينظر فيه المفتي من الأمور الجزئية وزيادة ثبوت أسبابها ونفي معارضتها… فنظر القاضي أوسع من نظر المفتي ونظر المفتي أوسع من نظر الفقيه”.

“Tingkatan ini lebih khusus dari mufti, karena hakim memeriksa perkara-perkara yang diperhatikan mufti dengan tambahan memastikan sebab-sebabnya dan menolak hal-hal yang menghalanginya. Pandangan hakim lebih luas dari mufti, dan pandangan mufti lebih luas dari faqih.”

Struktur tiga lapis ini memperlihatkan sistem epistemik Islam yang sangat matang. Seorang faqih memformulasikan teori, mufti menghubungkannya dengan realitas, dan qadhi menegakkannya di dunia nyata. Tiga peran ini saling mengikat dalam harmoni ilmu, hikmah, dan keadilan.

Pandangan al-Subki juga mengandung kritik terhadap zaman kita: banyak yang menguasai teks tetapi kehilangan kepekaan kontekstual. Ia menulis bahwa banyak fuqaha tidak mampu berfatwa karena:

“خاصية المفتي تنزيل الفقه الكلي على الموضع الجزئي”

“keistimewaan mufti adalah kemampuannya menurunkan hukum universal ke kasus konkret”. Ini menuntut kedalaman dan kebijaksanaan yang tidak lahir dari hafalan semata.

Dalam kerangka ini, kita melihat bahwa ilmu fikih tidak hanya menyangkut logika hukum, tetapi juga etika sosial. Sebagaimana diungkapkan al-Tufi dalam al-Isyarāt al-Ilāhiyyah (hlm. 17–18):

“الفقه : سياسة شرعية، مادتها تعظيم الشرع، وغايتها الطاعة والعدل، وثمرتها السعادة يوم الفصل”.

“Fikih adalah politik syariat; substansinya adalah pengagungan terhadap syariat, tujuannya adalah ketaatan dan keadilan, dan buahnya adalah kebahagiaan di hari pengadilan.”

Konsep ini luar biasa visioner. Ia menempatkan fikih sebagai siyasah syar‘iyyah, etika sosial yang mengatur kehidupan manusia dalam bingkai keadilan dan pengabdian. Hukum tidak berdiri untuk dirinya sendiri, tetapi berfungsi untuk menjaga tatanan moral masyarakat.

Dalam konteks global modern yang sarat relativisme dan sekularisme, konsep ini menegaskan kembali bahwa hukum Islam bukan sekadar legalisme formal. Ia adalah ethico-political system, yaitu tatanan nilai yang menuntun perilaku publik dengan orientasi ilahiah. Ketika keadilan sosial dan kejujuran publik runtuh, fikih harus hadir sebagai suara nurani.

Kedalaman pandangan ini juga terlihat dalam Shajarat al-Nūr al-Zakiyyah fī Ṭabaqāt al-Mālikiyyah (1/11–12):

“إن الفقهاء هم المعتكفون على مطالعة المسائل، واعمال النظر لتحريرها بأكمل الوسائل، والتقاط المسائل من الدلائل”.

“Sesungguhnya para fuqaha adalah mereka yang tekun mempelajari persoalan, menggunakan nalar untuk mengkajinya dengan cara paling sempurna, dan mengekstrak masalah dari dalil-dalil.”

Deskripsi di atas menegaskan bahwa sosok ulama sejati adalah seorang peneliti yang tekun, bukan sekadar penghafal. Mereka mengolah dalil menjadi pemahaman, bukan menumpuk teks tanpa refleksi. Dalam dunia modern, semangat ini sepadan dengan riset ilmiah yang berintegritas, menyelami bukan hanya “apa” tetapi juga “mengapa”.

Masih dalam kitab yang sama disebutkan:

“فمنهم من أصل وفرع، ومنهم من جمع وصنف فأبدع، ومنهم من هذب فحرر وأجاد”.

“Sebagian mereka meletakkan dasar dan cabang hukum; sebagian mengumpulkan dan menyusun dengan gemilang; sebagian lain menyempurnakan dan memurnikan dengan indah.”

Tiga tipe ini menggambarkan dinamika metodologis dalam ilmu fikih. Ada pencipta teori, penyusun sistem, dan penyempurna makna. Semua berperan membangun bangunan hukum Islam yang hidup dan lentur, tidak beku di tangan satu generasi.

Dari sinilah lahir tradisi ijtihad jama‘i, kolaborasi intelektual antar ulama yang memungkinkan hukum Islam terus berkembang sesuai zaman. Dalam konteks modern, ini menuntut kerja kolektif antar bidang: antara fuqaha, ahli ekonomi, sosiolog, dan ahli teknologi. Fikih tidak bisa berjalan sendiri; ia harus berdialog dengan realitas sosial.

Namun tantangan modern bukan hanya metodologis, melainkan juga moral. Al-Mar‘ashī dalam Tartīb al-ʿUlūm (hlm. 160) menegaskan:

“وفن الفقه أصعب الفنون وأطولها… بحر لجي، لا يغوص فيه إلا ذكي أوحدي ماهر في أصوله”.

“Ilmu fikih adalah seni yang paling sulit dan paling panjang; lautan dalam yang hanya bisa diselami oleh orang cerdas yang menguasai ushulnya.”

Kata “بحر لجي” (lautan dalam) menggambarkan kedalaman spiritual dan intelektual yang dibutuhkan dalam memahami hukum. Di era informasi cepat, banyak yang ingin menyelam tanpa persiapan, padahal dasar ilmunya dalam dan arusnya kuat.

Karena itu, belajar fikih sejatinya adalah belajar memahami cara Tuhan mengajarkan manusia untuk hidup dengan adil, bijak, dan penuh tanggung jawab. Ia bukan sekadar kumpulan pasal dan hukum, tetapi latihan berpikir yang melatih hati dan akal berjalan bersama. Fikih mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru menghakimi, tetapi menimbang dengan cermat antara teks dan konteks, antara ideal dan realitas. Seperti para ulama klasik yang tekun meneliti dan merenung, kita pun diajak untuk tidak berhenti pada hafalan, melainkan menelusuri makna di balik hukum agar setiap keputusan lahir dari kebijaksanaan dan kasih sayang. Di sinilah relevansi firman Allah:

“فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ”

yang artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl [16]: 43). Ayat ini menegaskan pentingnya bertanya/ berguru pada ahli ilmu, agar setiap pemahaman lahir dari bimbingan yang benar dan penuh tanggung jawab ilmiah.

Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, semangat ini menjadi sangat penting. Dunia modern membutuhkan fikih yang hidup, yang mampu berdialog dengan teknologi, budaya, dan tantangan sosial, tanpa kehilangan ruh pengabdiannya kepada Tuhan. Di sanalah letak yang saya sebut sebagai “seni memahami kehendak Tuhan”: kemampuan untuk menjadikan ilmu sebagai jalan menuju kedalaman makna, bukan sekadar alat mencari pembenaran. Belajar fikih berarti terus melatih diri membaca tanda-tanda Ilahi di balik setiap teks dan konteks, agar hukum tidak hanya menata kehidupan, tetapi juga menuntun manusia menuju kearifan dan kebahagiaan yang hakiki.

Referensi :
Al-Quran, Surah An-Nahl [16]: 43.

As-Subkī, Taqiyyuddīn ‘Alī bin ‘Abd al-Kāfī. Fatāwā As-Subkī, Jilid 2. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt., hlm. 131.

Al-Mar‘ashī, Sayyid Ni‘matullāh. Tartīb al-‘Ulūm. Qum: Maktabat Āyatullāh al-Mar‘ashī al-Najafī, 1408 H, hlm. 160.

At-Tādilī, Muḥammad bin Ja‘far. Syajarat al-Nūr az-Zakiyyah fī Ṭabaqāt al-Mālikiyyah, Jilid 1. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt., hlm. 11–12.

Aṭ-Ṭūfī, Najmuddīn Ṭāhir bin ‘Umar. Al-Isyārāt al-Ilāhiyyah ilā al-Mabāḥits al-Uṣūliyyah. Riyadh: Maktabat al-Rushd, 1998, hlm. 17–18.

Ibnu Ḥajar al-Haytamī al-Makkī. Ṯabat Ibni Ḥajar al-Haytamī al-Makkī. Kairo: Maktabat al-Madani, 1970, hlm. 408–409. (*)

Editor: Yusuf Arifai

Leave a Comment