Dari Tasyakuran Mumtaz hingga Pesan Nalar Kritis Mahasantri Ma’had Aly At-Tarmasi Pacitan
MAHADALY-ATTARMASI.AC.ID, PACITAN – Tidak setiap malam tasyakuran berubah menjadi ruang refleksi intelektual. Namun itulah yang terasa di Auditorium Ma’had Aly At-Tarmasi Pacitan. Kamis (18/12/2025) malam itu, doa syukur atas predikat Mumtaz justru menjelma menjadi pelecut mahasantri, bahwa hari ini tidak cukup hanya hafal teks, tetapi wajib berani berpikir kritis dan luas.
Tasyakuran capaian predikat Mumtaz dari Majelis Masyayikh menjadi momentum penting bagi keluarga besar Ma’had Aly At-Tarmasi. Bukan sekadar merayakan hasil asesmen, tetapi juga meneguhkan kembali arah pendidikan ulama di tengah perubahan zaman yang kian kompleks.
Acara berlangsung khidmat. Tahlil bersama membuka rangkaian, dilanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh muhadir Zanuar Mubin, S.M., M.E. Para muhadir, mahasantri, serta jajaran masyayikh hadir menyatu dalam suasana syukur yang hangat dan bersahaja.
Berpikir Luas, Tidak Terjebak Teks
Dalam kalam tasyakurnya, Mudir Ma’had Aly At-Tarmasi, KH Luqman Al Hakim Harits Dimyathi, menyampaikan pesan yang tidak biasa untuk forum tasyakuran. Ia mengajak mahasantri keluar dari cara berpikir sempit dan berani menatap ilmu secara lebih terbuka.
Mengutip ayat “Wa ja‘alna minal mā’i kulla syai’in hayyin” (Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup), KH Luqman menjelaskan bahwa dalam kaidah ushul fikih, kata kulla tidak selalu dimaknai secara mutlak. Ada ruang penalaran, ada wilayah ijtihad.
Pesan itu kemudian dikaitkan dengan Thales, filsuf Yunani kuno yang memandang air sebagai asal mula kehidupan. Bagi KH Luqman, perjumpaan gagasan lintas zaman dan peradaban bukan ancaman bagi Islam, melainkan bukti kelapangan tradisi keilmuan ulama.
“Mahasantri Ma’had Aly harus berpikir luas. Tidak alergi perbedaan, tidak takut wacana,” tegasnya.
Ia menegaskan, level kajian Ma’had Aly tidak lagi berhenti pada kitab-kitab dasar seperti Safinah, melainkan memasuki wilayah Al-Asybah wa an-Nazhair—ruang fiqh yang penuh perbandingan, analisis, dan perbedaan pendapat.

Nalar Kritis sebagai Fondasi
Sebagai ikhtiar konkret, Ma’had Aly At-Tarmasi telah memasukkan mata kuliah Mantiq sejak semester awal. Langkah ini ditempuh untuk melatih struktur berpikir mahasantri agar argumentatif, runtut, dan tidak mudah terjebak pada pembacaan tekstual semata.
KH Luqman juga menyinggung tradisi intelektual Islam klasik yang sangat terbuka terhadap dialog pemikiran, termasuk perdebatan Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Bagi beliau, dialektika semacam itulah yang justru menghidupkan ilmu.
“Ilmu tidak tumbuh dari ketakutan, tetapi dari keberanian berpikir,” ujarnya.
Syukur yang Melahirkan Tanggung Jawab
Predikat Mumtaz, menurut KH Luqman, bukan hadiah instan. Ia lahir dari proses panjang, kedisiplinan akademik, dan pengabdian para muhadir serta mahasantri yang harus membagi waktu antara kuliah dan khidmah pesantren.
Dalam doa penutupnya, ia berharap capaian kelembagaan ini sejalan dengan kualitas personal seluruh civitas akademika.
“Semoga Mumtaz-nya lembaga diikuti Mumtaz-nya akhlak dan ilmu, baik di mata manusia maupun di sisi Allah,” tuturnya.
Rangkaian tasyakuran ditutup dengan pembacaan Maulid Al-Barzanji Natsra, mahallul qiyam, serta doa bersama. Kebersamaan kemudian berlanjut dalam jamuan sederhana yang justru menegaskan makna syukur: hangat, membumi, dan penuh kebersamaan.
Bagi Ma’had Aly At-Tarmasi Pacitan, predikat Mumtaz bukanlah garis akhir. Ia menjadi pijakan awal untuk melangkah lebih jauh untuk membuka marhalah tsaniyah (M2), sekaligus memperkuat nalar kritis, dan menyiapkan ulama masa depan yang inklusif, tajam berpikir, serta kokoh berakhlak. (*)
Penulis: Dewi Imala/Amalia Nur Eka Putri
Editor : Yusuf Arifai
