Refleksi Akhir Tahun 2025 dan Resolusi Masa Depan
Oleh: Zanuar Mubin
Mentor Beasiswa Cendekia Baznas
MAHADALY-ATTARMASI.AC.ID, PACITAN-Perpustakaan Ma’had Aly At-Tarmasi, Jumat (19/12/2025), sore itu tidak sekadar sunyi oleh deretan kitab turats. Ada denyut semangat yang terasa berbeda. Puluhan mahasantri duduk rapat, sebagian menyandarkan punggung di rak buku, sebagian lain mencatat dengan wajah serius. Bukan tanpa alasan. Hari itu kami tidak hanya berkumpul untuk agenda rutin, melainkan untuk berhenti sejenak menengok perjalanan setahun ke belakang, sekaligus menyiapkan langkah yang lebih matang ke depan: Refleksi Akhir Tahun 2025.
Saya membersamai mereka bukan sekadar sebagai mentor Beasiswa Cendekia Baznas, tetapi sebagai sesama peziarah ilmu yang sama-sama sedang belajar tentang arti tumbuh. Sebelum diskusi dimulai, kami mengawali dengan doa. Kabar duka dari saudara-saudara kita di Sumatera yang tengah diuji musibah banjir menjadi pengantar keheningan. Di ruang perpustakaan itu, doa kami panjatkan bersama menandai bahwa kecendekiaan tidak berhenti pada kecerdasan nalar, tetapi harus berakar pada empati dan kepedulian sosial.
Memasuki sesi inti, kami membuka kembali lembaran perjalanan tahun 2025. Dengan bantuan materi presentasi, saya mengajak para mahasantri bercermin secara jujur melalui analisis SWOT. Kami sepakat bahwa kekuatan utama seorang penuntut ilmu sering kali terletak pada disiplin dan komitmen belajar. Namun, kami juga tidak menutup mata pada sisi rapuh yang kerap muncul: manajemen waktu yang berantakan, pikiran yang terlalu penuh oleh overthinking, hingga lelah mental yang tak selalu terucap.
Pencapaian akademik sepanjang tahun ini menyelesaikan semester, meningkatkan kompetensi, dan bertahan di ritme pesantren yang ketat patut disyukuri. Tetapi saya mengingatkan, syukur tidak boleh berubah menjadi rasa puas diri. Tahun 2025 memberi kami satu pelajaran penting tentang konsistensi bukan pilihan, melainkan syarat. Dan ambisi akademik, setinggi apa pun, akan rapuh jika tidak ditopang oleh perawatan diri, baik kesehatan mental maupun spiritual.
Diskusi semakin hidup ketika kami masuk pada topik Rencana Pengembangan Diri 2026. Saya mengajak mereka berpikir lebih terstruktur: memulai dari visi besar, menurunkannya menjadi misi, lalu merumuskannya dalam target yang konkret dan terukur. Bukan mimpi yang melayang-layang, tetapi rencana yang bisa dikerjakan, dievaluasi, dan dipertanggungjawabkan.
Untuk tahun 2026, kami menyepakati target bersama yang ambisius, namun tetap berpijak pada realitas. Di bidang akademik, tujuannya bukan sekadar lulus, melainkan meraih predikat mumtaz, menguasai bidang spesialisasi secara mendalam, dan yang tak kalah penting melahirkan karya tulis ilmiah yang berkualitas. Sementara dalam pengembangan diri, fokus diarahkan pada penguatan kepemimpinan dan perluasan jejaring, sebagai bekal menghadapi dunia pasca-kampus.
Saya menutup sesi dengan satu penegasan sederhana yang kami sepakati bersama, bahwa pertumbuhan selalu dimulai dari refleksi yang jujur, dan keberhasilan hanya bisa diukur dari konsistensi tindakan. Forum itu tidak diakhiri dengan suasana kaku. Obrolan mengalir santai, penuh tawa dan saling menyemangati. Dari sorot mata para mahasantri, terlihat kesiapan menghadapi tahun 2026, dari merumuskan tujuan spesifik di awal tahun hingga menuntaskan praktik-praktik nyata di penghujungnya.
Kami pulang dengan satu komitmen yang sama: siap mengambil tanggung jawab penuh atas pengembangan diri masing-masing. Semoga ikhtiar kecil ini menjadi jalan lahirnya generasi cendekia yang bukan hanya tajam secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional. (*)
Editor: Yusuf Arifai
