Forum Bahtsul Masail Ma’had Aly Al-Tarmasi Diperkuat Pemikiran KH Ma’ruf Khozin
MAHADALY-ATTARMASI.AC.ID, PACITAN–Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan menghadirkan Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, untuk memperkuat pemahaman metodologi bahtsul masail di kalangan mahasantri.
Dalam pemaparannya, Kiai Ma’ruf menjelaskan bahwa bahtsul masail merupakan forum yang membahas persoalan keilmuan dengan pendekatan fikih.
Kini, persoalan-persoalan yang diangkat di forum tersebut semakin kompleks. Ada yang bersifat waqi’iyah (kasus aktual), maudhuiyah (tematik), hingga qanuniyah (regulasi).
“Definisi bahtsul masail itu bahtsul mahmul ‘ala al-maudhu’. Ada satu kejadian yang perlu dihukumi, lalu kita bahas hingga ketemu hukumnya,” paparnya, Jumat (21/11/2025) malam.
Ia menambahkan, kadang para kiai memasukkan unsur tasawuf dalam pembahasan fikih. Hal itu diperbolehkan sepanjang tetap berada dalam kerangka metodologi yang benar.
Kiai Ma’ruf juga menyinggung asal-usul kata “bahts”, yang dalam Al-Qur’an muncul pada kisah Qabil dan Habil. Dalam Surah Al-Ma’idah ayat 31, Allah mengutus seekor burung gagak yang menggali tanah untuk menunjukkan cara menguburkan jasad. Kata “yabhasu” (menggali) menjadi dasar istilah bahtsul masail sebagai proses “menggali” dalil dan redaksi dalam kitab.
“Bahtsul masail itu mencari ta’bir. Mana redaksinya, mana kitabnya, mana dalilnya. Itu dari segi bahasa dan praktiknya,” jelasnya.
Menurutnya, metodologi bahtsul masail merupakan bentuk ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif yang sudah lama dipraktikkan di NU dan MUI.
Forum ini bertugas menetapkan hukum Islam atas persoalan kekinian, baik keagamaan, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, dengan tetap merujuk pada kitab turats.
Ia merinci beberapa elemen penting dalam metodologi bahtsul masail:
•Ijtihad Jama’i: Keputusan hukum dihasilkan melalui musyawarah kolektif ulama, bukan perseorangan.
•Rujukan Kitab Turats: Jawaban dicari dari redaksi kitab-kitab fikih empat mazhab yang muktabar.
•Ilhaq (Kontekstualisasi): Untuk persoalan baru, masalah dianalogikan dengan kasus fikih lama.
•Pendekatan Multidisipliner: Jika kasus terlalu kompleks, forum melibatkan ahli terkait—psikolog, ahli hisab, dan lainnya.
•Struktur Musyawarah: Ada mushahhih, perumus, moderator, mubahitsin, hingga notulen agar hasil diskusi valid dan sistematis.
•Al-Qaul al-Rajih: Keputusan forum biasanya menjadi pendapat paling kuat di lingkungan pesantren.
“Mahasantri harus membiasakan diri aktif dalam bahtsul masail, baik di internal maupun forum luar. Niatkan hadir di forum itu sebagai pencari ilmu,” pesannya.
Sementara itu, Mudir Ma’had Aly Al-Tarmasi, KH Luqman Al Hakim Harits Dimyathi, menegaskan pentingnya memahami metodologi bahtsul masail secara benar.
“Bahtsul masail itu perlu tahu caranya, ilmunya. Karena persoalan sekarang berkembang sangat cepat,” ujarnya.
Menurutnya, Ma’had Aly tetap berbasis kitab turats, tetapi harus mampu menyikapi perkembangan zaman. “Al-ahdu bil jadidi ashlah. Kita tetap pada turats, tapi membedahnya dengan teknologi,” tambahnya.
Ia berharap bahtsul masail bisa menjadi rutinitas wajib mingguan, terutama dengan model takhasus yang diterapkan di asrama. Sesi tersebut diakhiri dengan diskusi interaktif antara mahasantri dan KH Ma’ruf Khozin.
Tanya–Jawab
SOAL 1
Metode Bahtsul Masail (BM) pada Muktamar ke-30 ada tiga:
Qaulī, 2) Manhajī, 3) Ilhāq.
Pada Muktamar ke-31 muncul istilah baru seperti istihsān. Apakah boleh bertambah?
Jawaban:
Metode seperti istihsān tetap sah dipakai selama ada rujukannya dalam kitab-kitab ulama. Jika istihsān itu hasil kreasi pribadi, maka tidak diterima dalam BM karena forum harus merujuk pada ulama yang muktabar.
Untuk Maqāṣid asy-Syarī‘ah, Kiai Ma’ruf tidak setuju dijadikan metode utama, tetapi boleh menjadi penguat argumentasi.
SOAL 2
Dalam al-madkhal, takhrīj al-furū‘ ‘ala al-uṣūl termasuk bagian dari qiyās. Apakah bisa digunakan dalam BM?
Jawaban:
Bisa. Dalam fikih, ada istilah aqwāl (pendapat asli imam) dan qaul mukharraj (pendapat hasil takhrij), dan yang kedua ini masuk kategori qiyās.
Perlu dibedakan juga antara takhrij hadis (melacak sanad dan derajat) dengan takhrij fikih (mengeluarkan hukum cabang dari kaidah imam).
Karena takhrij al-uṣūl masuk ranah qiyās, maka ia dapat digunakan dalam bahtsul masail.
Contoh Kasus: Fikih Klasik Menjawab Masalah Kontemporer
Nikah Online
Keputusan Muktamar NU: Tidak sah karena akad harus berlangsung dalam satu majelis (ittihad al-majlis).
Pendapat Mufti Al-Azhar: Sah, selama yang tampil dalam video adalah orang asli, bukan rekaman atau manipulasi digital. (*)
Editor: Yusuf Arifai
