Mengapa Sejarah Syekh Dimyati Tremas Pacitan Belum Rampung? Ini Penjelasan Sejarawan
MAHADALY-ATTARMASI.AC.ID, PACITAN – Penulisan sejarah Syekh Dimyati Tremas Pacitan dinilai belum tuntas karena belum memiliki fokus kajian yang jelas. Hal itu disampaikan sejarawan dan penulis sejarah pesantren, Dzulkifli Yahya, dalam Diskusi Ilmiah yang digelar Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan, Sabtu (6/12/2025).
Diskusi bertajuk Menelusuri Sejarah Mbah Dimyati Tremas tersebut berlangsung di Perpustakaan Ma’had Aly Al-Tarmasi. Kegiatan ini diikuti delegasi mahasantri dari setiap semester serta sejumlah dosen atau muhadir di antaranya Muhammad Amruddin Latif, Alis Maulana, dan lainnya.
Menurut Dzulkifli Yahya, atau akrab disapa Iip D Yahya, salah satu kendala utama dalam penulisan sejarah Pondok Tremas adalah belum adanya penentuan fokus riset yang tegas.
“Kenapa penulisannya belum selesai? Karena fokusnya belum jelas,” ujarnya.
Ia mendorong agar kajian sejarah Tremas diarahkan secara spesifik pada masa kepengasuhan K.H. Dimyathi Tremas antara tahun 1896 hingga 1934. Periode tersebut dinilai penting karena Pondok Tremas telah berada pada fase kemapanan, baik dari sisi kelembagaan, jumlah santri, maupun perannya dalam kehidupan sosial masyarakat Pacitan dan sekitarnya.
Iip D Yahya menjelaskan, pada fase tersebut Pesantren Tremas tidak hanya tumbuh sebagai pusat pendidikan keislaman, tetapi juga memiliki posisi strategis dalam dinamika sosial dan keagamaan pada masa kolonial.
Metodologi Sejarah Perlu Dikuasai
Selain menyoal fokus kajian, Iip juga menekankan pentingnya penguasaan metodologi penelitian sejarah, khususnya bagi penulis sejarah pesantren.
Ia memaparkan tahapan dasar yang perlu dipahami, mulai dari heuristik atau pengumpulan data melalui arsip, dokumen, manuskrip, serta sumber lisan. Tahap selanjutnya adalah kritik sumber, yakni melakukan seleksi dan penilaian data secara cermat.
“Penulis harus bisa membedakan mana sumber utama dan mana sumber pendukung,” kata dia.
Tahap berikutnya adalah interpretasi, yaitu proses analisis data untuk menyusun pemahaman yang proporsional. Setelah itu, historiografi atau penulisan sejarah dengan pendekatan multidisipliner agar narasi yang dihasilkan tidak kaku dan mudah dipahami pembaca.
Iip D Yahya menegaskan, kelengkapan data justru akan memudahkan proses penulisan. “Semakin lengkap datanya, menulis akan semakin ringan,” ujarnya.
Diskusi berlangsung interaktif. Mahasantri Samsul Roziqin menanyakan pentingnya pendampingan serta perangkat pendukung bagi penulis sejarah. Menanggapi hal itu, Iib Yahya kembali menekankan bahwa kunci utama tetap terletak pada disiplin metode dalam menelusuri sumber sejarah.
Sementara itu, Rizki Zakaria menanyakan cara menyikapi penelitian sejarah sebelumnya yang dinilai keliru. Iip D Yahya menegaskan bahwa meluruskan kesalahan data merupakan kewajiban akademik seorang sejarawan.
Konteks Sosial Pacitan Dinilai Penting
Iip D Yahya menilai kajian tentang Mbah Dimyathi Tremas tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik Pacitan pada awal abad ke-20. Karena itu, ia mendorong pengumpulan data pendukung yang lebih luas.
Di antaranya adalah data tentang siapa saja yang menjabat Bupati Pacitan, Asisten Residen, hingga Residen Madiun pada periode 1896–1934, serta kebijakan yang dijalankan pada masa tersebut. Relasi antara penghulu Pacitan dan Pesantren Tremas juga dinilai penting untuk ditelusuri.
Ia juga menyinggung perlunya merekam peristiwa-peristiwa besar di Pacitan, termasuk data administratif kolonial seperti susunan pejabat Pengadilan dan Pertanahan Pacitan sekitar tahun 1930.
Mbah Dimyathi Dinilai sebagai Kiai Mentor
Pertanyaan lain disampaikan mahasantri Rendi Budi Setiawan terkait minimnya karya tulis K.H. Dimyathi. Menanggapi hal tersebut, Iib Yahya menegaskan bahwa kemajuan pesantren tidak selalu diukur dari jumlah kitab yang ditulis.
“Kemajuan pesantren juga bisa dilihat dari kualitas dan kiprah santrinya,” ujarnya.
Ia menyebut sejumlah murid K.H. Dimyathi yang kemudian menjadi tokoh nasional dan ulama besar, di antaranya Prof. KH. R. Muhammad Adnan, pendiri JAIN/IAIN; KH. Abdul Hamid Pasuruan; KH. Ali Maksum, Rais Aam PBNU; Prof. KH. Kahar Muzakkir, tokoh BPUPKI; serta KH. Munawwir Krapyak.
Dari situ, Iip D Yahya menduga K.H. Dimyathi merupakan sosok kiai mentor yang mampu membimbing santrinya menekuni beragam bidang keilmuan dan peran sosial.
Diskusi ilmiah tersebut ditutup dengan ajakan kepada mahasantri untuk terus menguatkan tradisi riset dan penulisan sejarah pesantren yang valid, kritis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. (*)
Penulis: Amalia Nur
Editor : Yusuf Arifai
