Menjadi Jurnalis Itu Soal Fakta, Bukan Asal Bicara
MAHADALYALTARMASI, PACITAN – Menjadi jurnalis itu bukan sekadar bisa merangkai kata, apalagi asal menulis berita. Begitu pesan yang mengemuka dalam Workshop Jurnalistik dan Sosialisasi Melek Hukum yang digelar oleh Rumah Jurnalis Pacitan di Pandan Kurung, Teleng Ria, Selasa (18/2/2025).
Acara yang dikemas dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 2025 ini bukan sekadar ajang kumpul-kumpul atau sekadar foto-foto lalu pulang. Peserta, yang berasal dari berbagai universitas dan sekolah di Pacitan, dibagi dalam dua sesi: belajar hukum jurnalistik dan praktik menulis berita.
Kepala Kejaksaan Negeri Pacitan, Eri Yudianto, yang tampil di sesi pertama, mengingatkan bahwa surat kabar di Indonesia sejak awal bukan cuma soal berita, tapi juga perjuangan.
“Surat kabar adalah pelopor lahirnya pers di Indonesia dan menjadi awal mula kebebasan berpendapat,” katanya, mengingatkan bahwa di balik kebebasan itu ada aturan main yang harus ditaati.
Hukum jurnalistik bukan sekadar pajangan, tapi payung agar jurnalis tetap tegak lurus dalam bekerja. Jangan sampai salah tulis, lalu berurusan dengan pasal-pasal yang beranak pinak.
Sesi kedua, yang lebih “berkeringat,” diisi dengan pelatihan dasar jurnalistik. Mulai dari menulis berita, teknik wawancara, mengedit naskah, sampai urusan teknis fotografi.
Jurnalis TIMES Indonesia, Yusuf Arifai, menegaskan bahwa media pers kampus punya tugas lebih dari sekadar menulis berita: mereka harus bisa memberikan solusi terhadap isu-isu di masyarakat.
“Menjadi jurnalis bukan hanya soal menulis, tapi juga memahami etika jurnalistik. Jurnalis harus independen, akurat, dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi,” tegasnya.
Ia memberi contoh sederhana, tapi sering disepelekan. Kalau mau menulis soal inovasi sekolah, ya wawancaralah dengan kepala sekolah atau wakilnya. Jangan asal tanya ke siapa saja lalu dijadikan berita.
“Kita harus mengedepankan fakta dan akurasi data yang jelas. Sumber data harus valid, pernyataan harus jelas. Jangan sampai yang bicara tukang kebun, yang dimuat soal kebijakan sekolah,” katanya, disambut tawa peserta.
Workshop ini diharapkan tak sekadar menambah pengetahuan, tapi juga membentuk generasi jurnalis yang paham bahwa kebebasan pers adalah hak yang harus diperjuangkan—bukan cuma dipakai untuk menulis berita asal jadi. (*)
Penulis: Samsul Rozikin, Azmi Adzkia, Lukluk Mahfudzakh, Dewi Imala, Amalia Nur Eka Putri
Editor: Yusuf Arifai