Perpindahan Mazhab dalam Fatwa Darul Ifta’ Mesir: Menelusuri Dinamika Keilmuan dan Tanggung Jawab Intelektual

Ditulis Oleh : Zanuar Mubin

Muhadir Ma’had Aly Al-Tarmasi Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan
Peraih Beasiswa Dana Abadi Pesantren (Penguatan Pengambilan Fatwa di Darul Ifta’ Mesir) yang diselenggarakan oleh Kemenag RI dan LPDP Tahun 2024

A. Pendahuluan

Perpindahan mazhab dalam konteks fatwa Darul Ifta’ al-Mishriyyah menghadirkan berbagai aspek dalam pemahaman dan pendekatan hukum Islam. Kitab Nahwa Fahmi Manhaji Li Idarati al-Khilaf al-Fiqhi menyoroti bahwa perubahan mazhab dianggap sebagai pendekatan praktis dalam menanggapi berbagai permasalahan. Penting untuk diakui bahwa izin untuk beralih mazhab tidak dapat diberikan tanpa keyakinan akan validitas pemahaman terhadap mazhab tersebut.

Perpindahan mazhab dalam metodologi fatwa Darul Ifta’ Mesir menghadirkan wacana menarik tentang fleksibilitas dan kedalaman pemahaman hukum Islam. Hal ini menjadi daya tarik dalam pembahasan artikel ini untuk kemudian dikaji oleh para akademisi, khususnya kalangan pesantren.

B. Dinamika Bermazhab di Darul Ifta’

Para ulama Darul Ifta’ al-Mishriyyah melihat keempat mazhab sebagai representasi syariah yang sah, menganggapnya sebagai ekspresi yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam. Di dalam lingkungan pembelajaran yang kami dapatkan di Darul Ifta’, kami seakan diberikan kebebasan untuk beralih antar-mazhab untuk permasalahan kontekstual, sebuah praktik pengalaman yang terbuka selama dan setelah proses pembelajaran juga kami dapatkan. Pengetahuan mendalam tentang prinsip mazhab yang berbeda dapat memberikan perspektif yang lebih kaya, sesuai dengan praktik yang dilakukan oleh ulama terkemuka seperti al-Tahawi, Ibn Daqiq al-‘Eid, dan Syekh Muhammad Bakheet al-Mutyi’i.

Namun, perpindahan mazhab harus disertai dengan pemahaman yang mendalam dan argumentasi yang kuat. Tindakan ini bukan hanya penggantian perpindahan semata, tetapi sebuah upaya untuk memperdalam wawasan hukum Islam yang lebih kontekstual dan humanis. Prinsip-prinsip fatwa yang dikeluarkan oleh Darul Ifta’ al-Mishriyyah tetap menjadi pedoman dalam mengambil keputusan hukum. Para ulama yang melakukan perubahan mazhab dihargai karena kemampuan mereka untuk memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip hukum yang berbeda secara kontekstual.

Dalam konteks ini, keragaman mazhab bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk menggali kedalaman pemahaman hukum Islam. Meskipun demikian, peralihan mazhab juga memerlukan tanggung jawab intelektual dan spiritual agar tidak disalahgunakan sebagai alasan semata untuk memenuhi keinginan pribadi. Dengan demikian, pendekatan ini mencerminkan dinamika keilmuan yang sehat dan tanggap terhadap perubahan zaman, tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip inti Islam yang rahmatan lil ‘aalamin.

C. Landasan dan Syarat Perpindahan Mazhab

Dalam “I’anat al-Talibin,” Ibn al-Jamal membahas isu kontroversial tentang perpindahan mazhab dalam pandangan ulama mutaakhirin, termasuk tokoh terkenal seperti Syekh Ibn Hajar. Pemahaman bahwa boleh melakukan perpindahan dari satu mazhab ke mazhab lain yang terdokumentasi menyoroti keberagaman pendapat dalam masyarakat Islam. Konteks ini menegaskan bahwa ada pandangan yang memberikan fleksibilitas terhadap pemilihan mazhab, bahkan hanya karena keinginan, baik secara permanen maupun dalam situasi-situasi tertentu.

Penting untuk mencatat bahwa perspektif ini menekankan bahwa perpindahan tersebut tidak harus disertai dengan kewajiban menyelaraskan kembali (talfiq) apabila seseorang melakukan fatwa atau memberikan hukum yang bertentangan dengan pilihan mazhabnya. Hal ini menegaskan prinsip kebebasan dalam menjalankan keyakinan dan pendapat mazhab, bahkan ketika seseorang berada dalam posisi memberikan fatwa.

Ibn al-Jamal menghadirkan pandangannya tentang taqlid, di mana taqlid dijelaskan sebagai mengambil dan bertindak sesuai dengan pendapat mujtahid tanpa mengetahui dalilnya. Konsep ini menyoroti kemudahan dalam mengikuti pandangan seorang imam tanpa memahami secara mendalam landasan hukumnya. Saat seseorang merasa tindakannya sesuai dengan pendapat seorang imam, maka dia dianggap telah melakukan taqlid.

Selanjutnya dalam kitab Nahwa Fahmi Manhaji Li Idarati al-Khilaf al-Fiqhi mengutip pendapat enam syarat yang harus dipenuhi bagi seorang yang ingin melakukan perpindahan mazhab :

  1. Mazhab yang diikuti harus terdokumentasi. Artinya, mazhab yang akan ditinggalkan harus memiliki landasan tertulis.
  2. Memahami syarat-syarat mazhab yang diikuti. Seorang yang berpindah harus memahami dengan baik persyaratan mazhab yang akan diikuti dalam suatu masalah tertentu.
  3. Tidak boleh beralih mazhab jika mengurangi kewajiban hakim. Pindah mazhab tidak diperbolehkan jika itu mengakibatkan pengabaian kewajiban seorang hakim.
  4. Tidak boleh mengambil mudah dari setiap mazhab. Pindah mazhab bukan untuk mengambil yang paling mudah dari setiap mazhab. Jika demikian, beban kewajiban hukum akan terhapus. Ibn Hajar mengatakan, “Jika demikian, lebih baik menghindarinya.” Namun, Al-Ramli berpendapat bahwa ini tidak menyebabkan dosa meskipun keliru.
  5. Tidak boleh bertindak bertentangan dengan dirinya sendiri dalam satu masalah. Misalnya, seseorang mengikuti Abu Hanifah dalam membeli rumah dengan memanfaatkan hak sewa tetangga, lalu ingin mengikuti Imam Al-Syafi’i untuk menjualnya. Hal ini tidak diizinkan.
  6. Tidak boleh menciptakan pandangan yang bertentangan. Pindah mazhab tidak boleh melibatkan penciptaan pandangan yang bertentangan di mana hakikatnya berasal dari dua pandangan mazhab yang berbeda.

Beberapa menambahkan syarat ketujuh, yakni: Mengharuskan pengikut untuk meyakini keunggulan atau setara mazhab yang diikuti dengan mazhab lainnya. Sehingga, pengikut harus meyakini bahwa mazhab yang diikuti lebih utama atau setara dengan mazhab yang ditinggalkan.

Beberapa juga menambahkan syarat kedelapan: Dalam keabsahan taqlid, pemimpin mazhab harus hidup. Ini ditanggapi dengan persetujuan oleh Syekhain dan yang lainnya tentang kebolehan taqlid kepada yang telah meninggal dunia. Mereka menyatakan bahwa pendapat ini adalah yang benar. Dalam “Al-Tuhfah,” disebutkan bahwa seseorang yang melakukan ibadah, yang memiliki perbedaan pendapat tentang keabsahannya tanpa meniru pendapat yang menganggapnya sah, diwajibkan untuk mengulang ibadah tersebut jika mengetahui bahwa ibadah tersebut rusak saat dia melakukannya. Hal ini disebabkan oleh celaan terhadapnya pada saat itu. Namun, bagi orang yang tidak mengetahui kerusakannya saat melakukannya, seperti seseorang yang menyentuh kemaluannya dan kemudian melupakannya atau tidak tahu bahwa itu diharamkan dan memiliki alasan yang dapat diakui, dia diizinkan untuk meniru Imam Abu Hanifah dalam mengabaikan kewajiban hukum jika mazhabnya memandang sah shalatnya, meskipun dia tidak meniru Imam Abu Hanifah saat melaksanakan shalat. Penjelasan ini memiliki makna khusus dan konteks tertentu dalam literatur fikih Islam.

D. Kesimpulan

Perpindahan mazhab dalam fatwa Darul Ifta’ Mesir mencerminkan dinamika keilmuan yang sehat dan responsif terhadap perubahan zaman. Para ulama didorong untuk memiliki wawasan luas dan mampu memilih mazhab yang paling tepat dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer.

Namun, perpindahan mazhab harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian. Pengikut mazhab harus memahami konsekuensi dari pilihannya dan tidak boleh menggunakan perpindahan mazhab sebagai alasan untuk memenuhi keinginan pribadi. (*)

Referensi :

  1. Nahwa Fahmi Manhaji Li Idarati al-Khilaf al-Fiqhi, Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, hal. 116.
  2. I’anah at-Thalibin, Juz 4 hal. 250.
  3. Ibid, Juz 4 hal. 249.

Leave a Comment