Relevansi Fiqh Klasik dalam Menyikapi Dinamika Haji Era Digital
MA’HADALYALTARMASI, PACITAN – Ibadah haji adalah ritual yang bersifat mahdhah—berlandaskan ketentuan waktu, tempat, dan tata cara yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, realitas zaman yang terus berubah, terutama dalam ranah teknologi, regulasi kenegaraan, serta pergeseran sosial global, memunculkan problem-problem baru yang tidak secara eksplisit ditemukan dalam literatur fiqh klasik.
Dalam konteks ini, fiqh dituntut untuk tidak sekadar bertahan dalam kerangka teks, tetapi juga harus lentur menanggapi konteks. Kepekaan terhadap zaman menjadi penting, tanpa menanggalkan prinsip-prinsip ushul yang menjadi pondasi hukum Islam.
Kuota, Biaya, dan Relevansi Ijtihad
Salah satu tantangan aktual yang dihadapi umat hari ini adalah sistem kuota haji yang diberlakukan Pemerintah Arab Saudi, serta terus melambungnya biaya perjalanan. Pertanyaan pun muncul:
- Apakah orang yang mampu secara ekonomi, tapi tak kebagian kuota, sudah dianggap memenuhi syarat istitha’ah?
- Bagaimana status hukum menunggu daftar antrean yang bisa mencapai belasan hingga puluhan tahun?
- Bolehkah anak menggantikan orang tua yang belum mendapat giliran meski keduanya masih hidup dan mampu?
Literatur klasik jelas tidak membahas sistem kuota atau antrean seperti ini. Akses ke Tanah Suci di masa lampau belum diatur negara dan belum dibatasi secara administratif. Maka, dibutuhkan pendekatan maqashid syariah (tujuan syariat) dan qawa’id fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam) untuk menjembatani antara dalil dan realita hari ini.
Dinamika Istitha’ah: Dari Fisik ke Administratif
Dalam kitab al-Majmu’, Imam al-Nawawi menegaskan bahwa istitha’ah mencakup kemampuan fisik, finansial, dan keamanan. Dalam konteks sekarang, sebagian ulama kontemporer menambahkan satu dimensi baru: kemampuan administratif dan legal.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, misalnya, memandang hambatan administratif seperti kuota sebagai uzur syar’i (alasan syariat yang sah) yang menangguhkan kewajiban haji secara temporer. Artinya, kewajiban tetap ada, tetapi pelaksanaannya bisa tertunda secara sah.
Haji Virtual, Badal, dan Batasan Teknologi
Pandemi COVID-19 menjadi momen munculnya gagasan “haji virtual” menggunakan teknologi VR dan kecerdasan buatan (AI). Sebagian kalangan mempertanyakan kemungkinan menjadikan praktik ini sebagai solusi darurat atau bentuk badal (perwakilan).
Namun, dalam fiqh klasik, badal hanya sah jika dilakukan oleh manusia untuk orang lain yang uzur tetap (sakit permanen atau wafat). Haji virtual tidak memenuhi syarat karena tak terjadi wuquf yang nyata di Arafah—rukun utama yang tak bisa diwakilkan teknologi.
Namun demikian, teknologi dapat dimanfaatkan untuk edukasi dan simulasi. Di sinilah pentingnya membedakan antara media pembelajaran dan pelaksanaan ibadah itu sendiri.
Menuju Fiqh Haji Kontemporer
Realitas ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan pembaruan kerangka berpikir: fiqh al-hajj al-mu’ashir—yakni fiqh haji kontemporer yang:
- Berorientasi pada maqashid, untuk menjaga substansi meski terjadi perubahan bentuk dan cara.
- Mengandalkan ijtihad kolektif (jama’i), karena problem hari ini bersifat kompleks dan lintas sektor.
- Responsif terhadap kebijakan negara dan hukum internasional, sebab pelaksanaan haji kini tak bisa lepas dari peran negara dan relasi antarbangsa.
Epilog: Menjaga Substansi, Menjawab Zaman
Tantangan ibadah haji saat ini bukan sekadar teknis dan logistik, melainkan juga metodologis. Fiqh tidak cukup bila hanya dipahami secara tekstual dan individual, tapi harus digali dalam kerangka konteks sosial dan global.
Fiqh klasik tetap relevan sebagai fondasi, tapi membutuhkan reinterpretasi agar tetap menjawab kebutuhan umat hari ini. Di sinilah pentingnya menggali ulang warisan ulama masa lalu, lalu membingkainya dengan perspektif baru tanpa kehilangan substansinya.
Karena pada akhirnya, tujuan utama syariat adalah menghadirkan kemaslahatan. Ibadah tidak hanya soal hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi juga bagaimana nilai-nilainya menjadi solusi konkret atas dinamika zaman. (*)
Penulis : Kusrotin – Mahasantri Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan Semester 3
Editor: Yusuf Arifai