The Role and Education of Women in Political Indonesia
MA’HADALYALTARMASI, PACITAN-Perempuan pada hakikatnya memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Mereka merupakan mahluk yang dimuliakan Allah SWT, atas segala kelebihannya. Antara laki – laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa ada pembeda. Tapi pada kenyataannya, perempuan terdiskriminasi dari laki – laki diberbagai aspek kehidupan, terutama Politik. Deskriminasi menjadikan perempuan terkurung dalam kegelapan intelektual. Perempuan tidak diperkenankan untuk sekolah, hanya diperbolehkan mengurus rumah tangga, mencuci, menjahit, memasak, mengurus anak, dalam kata lain perempuan hanya sebagai pelengkap rumah tangga seperti filosofi Jawa menyebutkan wanita sebagai “konco wingking” yang tugasnya 3M, Macak, Masak dan Manak (melahirkan).
Nilai patriarki sudah mengakar pada kebudayaan Indonesia. Sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kita mengesampingkan perempuan dalam segala hal tanpa terkecuali politik. Perempuan seolah tidak pantas mengembangkan intelektualitasnya dan menduduki kursi kepemimpinan. Dalam catatan sejarah, tokoh – tokoh wanita ada yang berhasil menduduki jabatan kepemimpinan baik eksekutif, legislatif bahkan yudikatif di Indonesia, seperti Megawati Soekarnoputri, Khofifah Indar Parawansa, Sri Mulyani, Retno Marsudi, Susi Pudjiastuti, Yenny Wahid, dan Puan Maharani.
Representasi perempuan dalam dunia politik masih jauh dari harapan. Kementerian pemberdayaan dan perlindungan anak republik Indonesia berupaya mengatasinya, dengan menerapkan Zipper System yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon minimal ada 1 perempuan. Pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen jauh dari kata memuaskan, bahkan bisa dikatakan gagal. Padahal, 25 tahun sudah reformasi di Indonesia, sudah seharusnya kesetaraan gender mencapai aspek subtansi, bukan sekedar angka.
Dapat kita amati bahwa realitas per-politikan kita kini cenderung sangat maskulin. Dikatakan maskulin sebab dalam kancah perebutan tampuk kekuasaan nomor satu di Indonesia (Pemilu Presiden) partisipasi perempuan sangatlah minor ditambah berbagai lembaga survey kian ramai memperlihatkan hasil riset elektabilitas mereka ditengah masyarakat yang cenderung mengarah pada satu gender saja.
Keikutsertaan perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ruang untuk perempuan menjadi fokus untuk menciptakan inklusivitas. Laporan Kesenjangan Gender Global 2020 yang dirilis World Economic Forum, tingkat kesetaraan secara global baru 68,6 persen. Partisipasi perempuan dalam politik menempati kesenjangan terbesar dengan skor 24,7 persen. Indonesia berada di posisi ke-85 dari 153 negara. Data ini menunjukkan bahwa negara kita memiliki problem serius dalam praktik politik elektoral di Indonesia.
Ketika kita melihat Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu 2024 yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari total 205.835.518 pemilih, sebanyak 103.006.478 pemilih adalah perempuan. Sisanya sekitar 102.847.040 pemilih adalah laki-laki. Ini menunjukkan pemilih perempuan sangat potensial. Jangan sampai perempuan dijadikan sebagai obyek dalam kontestasi politik lima tahunan, tetapi diberikan tempat untuk mengisi 30 persen keterwakilan di masing-masing tingkatan parlemen.
Hanya formalitas
Akan tetapi, partisipasi perempuan dalam politik masih jauh dari angka minimal 30 persen. Hal ini diperburuk dengan pelibatan perempuan dalam penyelenggara pemilu yang masih sedikit. Penyelenggara pemilu di tingkat pusat, hanya ada 1 orang perempuan yang masuk. Apakah DPR tidak memiliki komitmen kuat untuk menginternalisasikan amanat Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ? Atau ada intervensi dari pihak yang berkepentingan? Entahlah. Tulisan ini akan mengulas pendidikan politik perempuan dan peran politik perempuan dalam Islam.
Melihat kasus Rietsky Aprilia, Penerus Sementara (PAW) pada Pemilu 2019, patut dijadikan bahan evaluasi untuk kita. Perempuan seringkali menjadi korban dari keadaan politik yang tidak menguntungkan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran gender masih sangat rendah. Dugaan suap Harun Masik terhadap penyelenggara pemilu untuk mengisi pos PAW di Daerah Pemilihan 1 Sumsel dinilai merugikan demokrasi. Sedangkan berdasarkan perolehan suara, Rietsky Aprilia memperoleh 44.402 suara, sedangkan Harun Masik hanya memperoleh 5.878 suara.
Perempuan memperoleh suara terbanyak. Partai politik pahus bangga memiliki perempuan di parlemen. Namun bukannya calon terpilih diakui, malah terjadi pengkhianatan. Rietsky Aprilia memperoleh suara terbanyak meski berada di peringkat ketiga. Ini adalah pencapaian yang luar biasa, namun tidak ada seorang pun di partai yang memperjuangkannya. Itulah mengapa sangat penting untuk melibatkan perempuan dalam pengelolaan pemilu. Salah satunya adalah memastikan pemilu tidak dikompromikan dan suara perempuan tidak dimanipulasi di TPS.
Pendidikan Politik untuk Perempuan
Para pembaca tentu mengetahui bagaimana proses demokrasi di negara kita. Demokrasi maskulin sebuah sebutan yang cocok untuk negeri ini. Betapa tidak, jika kita melihat diberbagai lini sektor pemerintahan dipegang oleh laki – laki. Hal ini membuktikan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia sangat kurang. Dari sini kita bisa berkaca bahwa kebutuhan yang sangat penting pada perempuan adalah pendidikan Politik.
Fenomena munculnya “kader instan” dan ketidaksiapan parpol dalam mengajukan calon legislatif atau eksekutif sering kita dengar ketika pesta demokrasi berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa parpol belum melakukan pendidikan Politik yang sistematik dan Ajeg. Mirisnya beberapa partai politik melakukan kegiatan kaderisasi hanya sebatas pengenalan visi misi parpol, belum sampai pada promosi hasil kaderisasi dan pendidikan Politik untuk mengisi jabatan-jabatan publik.
Kaderisasi sebagai salah satu pendidikan Politik yang dilakukan partai politik di Indonesia. Kaderisasi diikuti seluruh kader politik partai baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan yang terdidik dan memiliki tingkat intelektual tinggi manjadi syarat realisasi pencapaian keterwakilan yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan sebuah aspek korelasi dengan tuntutan mencerdaskan perempuan secara fair, Feminisme politik. Tapi sayangnya kita tak banyak menemukannya. Dalam pendidikan politik perempuan, diperlukan program – program khusus yang disesuaikan bagi perempuan dan pelatihan orientasi. Dalam kegiatan pelatihan bersama, perempuan harus didorong untuk mengemukakan bidang – bidang kepentingan perempuan. Begitu pula perempuan harus diajari bagaimana mendobrak codes of conduct yang mapan.
Peran Politik Perempuan Dalam Islam
Para pembaca tentu mengetahui diberbagai sumber terpercaya atau merasakan sendiri, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Lalu kenapa perempuan sulit menjadi pemimpin? Apa karena budaya patriarki? karena statement derajat perempuan dibawah laki-laki? Atau Karena perempuan adalah mahluk lemah yang harus diperlakukan sesuai kemampuan laki – laki, yang berujung pelecehan? Semua ini terpatri dalam pemikiran kita, padahal Islam mengajarkan konsep egaliter, persamaan tanpa ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan.
Indonesia adalah Negara demokrasi dan pancasila. Setiap individu memiliki kebebasan mengekspresikan dirinya dalam melakukan segala tindakan sosial dengan tetap terikat pada hukum yang berlaku. Dicalonkan maupun mencalonkan untuk dipilih dalam masyarakat. Itu semua bagian dari demokrasi. Dalam sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menegaskan tidak dibenarkan adanya pengelompokan, pengkulturan, tertentu dalam masyarakat Indonesia baik berdasarkan jenis kelamin, ekonomi dan lain-lain.
Mayoritas ulama fuqoha melarang kepemimpinan perempuan di pemerintahan dengan dalih bahwa pemerintah itu sama dengan imamah atau khilafah, bahkan perempuan tidak kuat menanggung beban pemerintahan. Hal ini bersandar pada firman Allah, QS. An Nisa ayat 34, ” kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Kepemimpinan dalam Islam disyaratkan laki – laki, karena laki – laki dianggap mampu dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika kita pahami bersama, ayat ini membahas kepemimpinan laki laki dalam rumah tangga bukan pemerintahan.
Kedudukan perempuan dan laki-laki itu sama dalam bidang politik, karena sama – sama memiliki hak. Dikatakan oleh Yusuf Al Qardhawi, perempuan dewasa adalah seorang mukallaf secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakkan agama-Nya, dan berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seperti halnya kaum laki-laki, demikian pula dalam hal kenegaraan. Pemikiran ini, menumbuhkan kesadaran kita akan kesempatan yang sama dalam berwarganegara. Begitu juga dengan pemerintah harus bisa menjamin keamanan hak-hak politik setiap perempuan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan asas pancasila.
Penulis meminjam kata-kata bung karno yang beliau tulis dalam bukunya yang berjudul ‘’sarinah; kewajiban wanita menjalankan kewajibannya’’. Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia dan wanita yang Merdeka!
Daftar Pustaka
- Aisyah, Hamid Baidlowi, Perempuan di Parlemen dan Strategi Peningkatan Partisipasi dan Keterwakilannya, Lokakarya Nasional, 25 Januari 2003 di Jakarta.
- Alfian, 1988. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: LP3E.
- Alfiaturohmaniah, Siti., 2003. Ketika Perempuan Memasuki Peran Pablik, Jurnal Suara Merdeka, sabtu 13 Juli 2003. copyright, @ 1996. SUARA MERDEKA.
- Baidowi, Ahmad, Memandang Perempuan: Bagaimana al-Quran dan Penafsir Modern menghormati Kaun Hawa, Bandung: Marja. 2011
- Jawad, Haifa A., Otentisitas Hak–Hak Perempuan, (Perspektif Islam Atas Kesetaraan Gender). Terj. Ani Hidayatun dkk. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2002
- Moser, Gender Planning and Development; Theory, Practice and Training. London: Roudlledge. 1993
- Ritonga, Deffi Syahfitri, Kajian Gender Pada Novel Karya Nawal El Saadawidan Sutan Takdir Alisjahbana, Arabiyâ : Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, 3, (1), 2016
- Soetjipto, Ani Widyani, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2005
- Soetjipto, Ani, 2011, Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Marjin Kiri.
- Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, Cet. II. 2010
- Warjiyati, Sri, Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al-Daulah Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 (No 1) 2016
Penulis : Syamsulroziqin, Mahasantri Ma’had Aly Al-Tarmasi, Pacitan
Editor : Yusuf Arifai