Tips Menjadi Ahli Fiqh yang Berkompeten

MA’HADALYALTARMASI, PACITAN-Fiqh, sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hukum-hukum Islam, memerlukan pemahaman yang mendalam dan praktik yang terus menerus untuk mencapai keahlian yang diinginkan. Ini telah ditekankan oleh para ulama klasik, seperti Imam Ibn al-Salah (wafat 643 H) dan Imam al-Ghazali (wafat 505 H), yang memberikan panduan tentang bagaimana mencapai tingkat mujtahid atau ahli fiqh yang kompeten.

Berikut pembahasan yang akan diulas dalam artikel ini:

A. Penguasaan Ilmu Fiqh

Ibn al-Salah menekankan pentingnya menghafal masalah-masalah fiqh bagi seorang mufti. Menurutnya, meskipun tidak wajib bagi seorang mujtahid independen untuk menghafal semua masalah fiqh, seorang mufti perlu memiliki kemampuan untuk segera memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai konteks atau kejadian tanpa kesulitan yang berlebihan.

Ibn al-Salah dalam kitabnya menyebutkan: “لأن حال المفتي يقتضي اشتراط كونه على صفة يسهُل عليه معها إدراك أحكام الوقائع على القرب من غير تعب كثير، وهذا لا يحصل لأحد من الخلف إلا بحفظ أبواب الفقه ومسائله. ثم لا يُشترط أن تكون جميع الأحكام على ذهنه، بل يكفي أن يكون حافظًا للمعظم متمكنًا من إدراك الباقي على القرب”

Artinya: “Karena keadaan seorang mufti mengharuskan adanya syarat agar ia berada dalam kondisi yang memudahkan dirinya untuk memahami hukum-hukum suatu kejadian dengan relatif mudah dan tanpa banyak kesulitan. Hal ini tidak dapat dicapai oleh seseorang di kalangan generasi setelahnya kecuali dengan menghafal bab-bab fiqih dan masalah-masalahnya. Tidak diharuskan agar semua hukum ada dalam ingatannya, tetapi cukup jika ia menghafal sebagian besar dan mampu memahami sisanya dengan relatif mudah.” (Ibn al-Salah, Adab al-Mufti wa al-Mustafti, Hal. 88).

B. Praktik Sebagai Kunci Keahlian

Al-Ghazali juga menekankan pentingnya praktik dalam mencapai keahlian dalam fiqh. Ia berpendapat bahwa meskipun metode yang digunakan oleh para sahabat berbeda, dalam konteks zaman yang lebih modern, praktik dan pengulangan adalah cara utama untuk mencapai keahlian.

Al-Ghazali menyatakan:

“إنما يحصل منصب الاجتهاد في زماننا بممارسته، فهو طريق تحصيل الدُّربة في هذا الزمان، ولم يكن الطريق في زمان الصحابة ذلك، ويمكن الآن سلوك طريق الصحابة أيضًا”.

Artinya: “Level ijtihad pada masa kita sekarang hanya dapat diperoleh melalui praktiknya, karena itulah cara untuk mendapatkan keterampilan di zaman ini. Pada masa sahabat, cara tersebut tidak demikian, namun sekarang kita juga bisa mengikuti cara para sahabat.”al-Ghazali, al-Mustasfa, 2/388).

C. Metode Pengajaran Fiqh

Dalam pandangannya tentang bagaimana menjadi ahli fiqh, al-Ghazali juga menyarankan bahwa seseorang harus terus-menerus berlatih, menghafal, dan mengulangi materi fiqh. Pada awalnya, ini mungkin tampak sulit, tetapi dengan ketekunan, seseorang akan mengembangkan sifat fiqh dalam dirinya, membuatnya lebih mudah untuk menghasilkan hukum fiqh secara alami.

Al-Ghazali menyatakan:

“من أراد أن يصير فقيه النفس فلا طريق له إلا ممارسة الفقه وحفظُه وتكراره، وهو في الابتداء متكلِّف حتى ينعطف منه على نفسه وصفُ الفقه، فيصير فقيهًا، بمعنى أنه حصل للنفس هيئة مستعدَّة نحو تخريج الفقه، فيتيسر له ذلك طبعًا مهما حاوله”.

Artinya: “Barang siapa yang ingin menjadi seorang ahli fiqih yang kompeten, tidak ada jalan lain baginya kecuali dengan mempraktikkan fiqih, menghafalnya, dan mengulang-ulangnya. Pada awalnya, hal ini akan terasa memaksa hingga ia memperoleh sifat fiqih dalam dirinya, sehingga ia menjadi seorang ahli fiqih dalam arti ia memiliki kesiapan mental untuk mengeluarkan hukum-hukum fiqih, yang pada gilirannya akan memudahkan dirinya secara alami dalam usaha tersebut.” (al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, 252).

Berdasarkan tips dari dua ulama besar di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang ahli fiqh di zaman sekarang, kita perlu fokus pada tiga aspek utama, yakni penguasaan materi fiqh, praktik terus-menerus, dan pemahaman mendalam. Dalam hal ini, metode latihan yang intensif dan pengulangan adalah kunci untuk mencapai penguasaan terhadap ilmu fiqh yang baik.

Terus-menerus berlatih dan menghafal masalah-masalah fiqh sebagai bagian dari upaya membangun kompetensi maupun keahlian. Melalui latihan dan pengulangan yang konsisten, kita akan dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi seorang faqih (ahli fikih) yang kompeten.

Pendekatan ini akan memungkinkan kita untuk menyesuaikan diri dengan perubahan konteks dan tantangan fiqh di zaman modern, sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazali dan Ibn al-Salah di atas. (*)

Referensi, Al-Ghazali, Abu Hamid., (1999) Al-Mustashfa Min ‘Ilm Ushul, Juz 1, Beirut: Darul Fikri.Al-Ghazali, Abu Hamid., (1964), Mizan Al-‘Amal, Kairo: Dar Al-Ma’arif.Ibnu Ash-Sholah., (2002) Adab al-Mufti wa al-Mustafti. Madinah: Maktabah Ulum wal Hikam.

Penulis: Zanuar Mubin, Muhadir Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan

Editor : Yusuf Arifai

Leave a Comment