- Posted on
- mahadaly
- No Comments
Berislam dan Berfilsafat: Why Not?
Berislam dan Berfilsafat: Why Not?
M. Amruddin Latif, M.Pd.
Dalam khazanah ilmu, filsafat dimaknai sebagai berpikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna. Bebas dalam artian memberikan keluasan pada akal yang mendobrak alur berpikir mainstream. Radikal berarti berpikir sampai akar suatu masalah, menukik, dan melampaui tataran fisik. Filsafat adalah berpikir mengenai segala sesuatu yang melibatkan kontemplasi mendalam, keluasan, serta tidak berhenti pada level permukaan. Dalam etimologi Barat, filsafat (philosophy) adalah upaya untuk meraih kebijaksanaan. Filsafat juga bimakna usaha sunguh-sunguh untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan intelektual.
Para filsuf adalah orang yang tidak puas dengan realitas yang terlihat oleh panca indera, mereka selalu mencari hakikat tersembunyi di balik sesuatu yang tampak. Sebagai contoh: ketika melihat air, alam pikiran filsafat tidak hanya menangkap air sebagai benda cair, akan tetapi merenungi hakikat dari air tersebut, serta mencari makna bagi kehidupan manusia. Singkatnya, filsafat mengajak manusia untuk memperdalam pengetahuan akan sesuatu, dengan terlebih dahulu ‘mencurigai’ sesuatu itu untuk kemudian membuka jalan terhadap perenungan dan diskusi guna mencari kebenaran sejati.
Dalam filsafat, segala sesuatu yang terjadi tidak lantas diterima begitu saja, tanpa penyelidikan lebih lanjut. Sesuatu baru akan diterima manakala bisa dipahami oleh rasional. Banyak mitos yang bertebaran di kehidupan ini, tugas filsafat adalah mencari rasionalitas dari mitos-mitos tersebut, hingga ia menjadi logos. Tentu dengan penelitian yang panjang nan mendalam. Nalar kritis filsafat dibutuhkan agar manusia tidak terjebak pada alur mainstream yang lebih sering berjalan tanpa diketahui hakikatnya. Pendayagunaan akal untuk mempertanyakan segala sesuatu itulah yang diinginkan filsafat.
Filosof klasik pra Sokratis seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros dll adalah sekelompok orang yang tidak lantas puas terhadap penglihatan fisik mengenai alam yang terbentang. Bagi mereka, alam semesta ini menawarkan teka-teki untuk ditelusuri jawabanya. Filosof klasik berpendapat bahwa asal-usul alam dan kehidupan lebih menantang untuk direnungkan dan diobservasi, daripada terus dikaitkan dengan dewa-dewa. Jelasnya, para filsuf mengajak untuk tidak lantas manut begitu saja terhadap segala sesuatu, harus kritis. Mitos akan terus berjalan manakala tidak ada upaya untuk membuatnya menjadi logos.
Filsafat dalam Islam
Dalam Islam, berpikir merupakan sunnah Nabi. Banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berpikir, dimana ayat afala tatafakkarun diulang berkali-kali. Artinya, Tuhan mewajibkan hambanya untuk berpikir. Berpikir adalah sebuah keniscayaan, nah filsafat mengajarkan cara berpikir yang benar, karena berpikir ada metodenya. Rasulullah diutus untuk meluruskan umatnya dalam berpikir dan bertindak sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keengganan berpikir berakibat pada ketidaktahuan manusia akan proses dari segala sesuatu. Ketika suatu proses tidak diketahui, maka mustahil manusia bisa menghasilkan suatu produk. Akibatnya, kebudayaan menjadi macet dan kreativitas menjadi kering. Dalam kondisi tersebut, manusia hanya akan menjadi konsumen peradaban.
Sampai hari ini, masih banyak dari umat Islam yang menganggap haram terhadap filsafat. Hal ini tentu sangat disayangkan. Sejarah filsafat yang lahir dari kebudayaan ‘kafir’, menimbulkan kekhawatiran bagi umat Islam akan rusaknya akidah. Sehebat apapun ide-ide besar yang ditawarkan Socrates, Plato, Aristoteles dll, tidak cukup menarik umat Islam untuk mendekat kepada filsafat, karena tokoh-tokoh tersebut lahir jauh sebelum Islam, sehingga muncul ketakutan bahwa ajaran-ajaran mereka bisa melemahkan iman. Potret sebagian filsuf yang nyeleneh, mbulet, susah diatur, liberal, kritis, pendobrak kemapanan, anti dogma, bahkan atheis, semakin membuat wajah filsafat terlihat ngeri di mata umat Islam.
Untuk kita umat Islam, berfilsafat tak berarti melakukan metode berpikir yang sama persis dengan yang dilakukan para filsuf Yunani atau filsuf Barat modern. Tetap saja harus ada filter dan batasan agar berpikirnya umat Islam tidak melanggar syariat. Kebebasan dalam cara berpikir umat Islam, bukan berarti bebas tanpa batas. Bagaimanapun akal manusia terbatas, tak semua hal bisa dijangkau oleh akal. Ada wilayah transenden yang mewajibkan umat Islam tidak boleh menyanggahnya, pun begitu tetap dianjurkan untuk menelitinya. Dalam Islam tidak dibenarkan meragukan eksistensi Tuhan, sebagaimana yang biasa terjadi dalam filsafat Barat.
Jika ditanya apa itu filsafat Islam? Jawaban mudahnya, filsafat berarti melakukan sesuatu seperti yang dilakukan al-Kindi, al-Farabi, ar-Razi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd dll. Filsafat para ulama muslim tersebut tentu berbeda dengan yang filsafat model Barat. Mereka tidak memaknai filsafat sebagai produk jadi untuk ditelan begitu saja, melainkan harus difilter, direkonstruksi, dimodifikasi, dan dirumuskan ulang. Para ulama hanya mengambil metode berpikir khas dan unik yang ditawarkan filsafat. Karenanya, filsafat menjadi kapital untuk membangun peradaban.
Mengapa butuh filsafat? Ada banyak ajaran Islam yang apabila tidak dilakukan penelitian mendalam terkesan irasional. Karenanya, dibutuhkan perenungan atas dogma yang ada, untuk dicari makna dan hikmahnya, dari situlah ditemukan maqashid syariahnya. Zaman terus berubah, komunikasi saat ini sudah melintas batas, berakibat pada terbukanya dialog berbagai kalangan, agama, dan ideologi. Persingungan tersebut semakin mempertajam nalar kritis manusia. Ilmu pengetahuan terus berkembang dan semakin menemukan kecanggihannya. Nah jika tradisi berpikir umat Islam lemah, maka umat Islam akan sulit menemukan lautan hikmah dalam ajaran agama yang bisa dipahami logika. Hal ini tentu merugikan, mengingat manusia modern hanya percaya hal-hal yang bersifat rasional dan empiris.
Filsafat Islam dibangun dari akar sunnah Rasulullah dalam tradisi berpikir. Tradisi berfilsafat umat Islam berbeda dengan model filsafat Barat, dimana hanya percaya pada rasionalitas. Dalam Islam, akal tidak lantas mengalahkan dogma keagamaan, harus ada keseimbangan antara akal dan keimanan. Filsafat Islam mempunyai metode yang jelas, yakni rasional tansendental (meminjam istilah Prof. Musa Asy’ari). Filsafat Islam berbasis pada Al-Qur’an dan sunnah, pada dialektika fungsional nash dan akal untuk memahami realitas. Filsafat Islam tidak netral, tetapi bertujuan untuk melibatkan diri dalam proses transformasi kehidupan guna mencapai keselamatan dan kedamaian dunia akhirat. Karenannya, mari berislam dan bersilsafat!
Wallahu A’lam