Menakar Eksistensi Urf dalam Fatwa

MA’HADALYALTARMASI, PACITAN-Urf adalah kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Mempertimbangkan ‘urf dalam hukum syar’i bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam bermu’amalah.

Imam Al-‘Alai dalam kitabnya “Al-Majmu’ Al-Madzhab fi Qawa’id Al-Madzhab” menyebutkan sejumlah dalil mengenai pertimbangan ‘urf dalam hukum syar’i dan berkata:

“فهذه الأدلة بمجموعها تفيد القطع باعتبار العادة وترتيب الأحكام الشرعية عليها” (المجموع المذهب في قواعد المذهب, الخليل بن كيكلدي العلائي, ١: ٤١٠)

Artinya: “Dalil-dalil ini secara keseluruhan menunjukkan kepastian bahwa adat diakui dan hukum syar’i dibangun di atasnya”.

Para fuqaha’ dari mazhab Syafi’i mengakui adat dan ‘urf dalam hukum syar’i dan menetapkannya dalam beberapa bidang.

Berikut adalah penjelasannya:

1. Urf dalam Transaksi Keuangan

Adakalanya transaksi keuangan masyarakat dibangun berdasarkan ‘urf. Dalam kitabnya, Imam Al-Haramain berkata:

“والتعويل في التفاصيل على العرف وأعرف الناس به أعرفهم بفقه المعاملات” (نهاية المطلب في دراية المذهب, الجويني, ۱۱: ۳۸۲)

Artinya: “Dan dalam rincian-detailnya, bergantung pada ‘urf (kebiasaan). Dan orang yang paling mengetahui ‘urf adalah orang yang paling memahami fiqh muamalah.”

Contohnya adalah konsep penyerahan barang (qabḍ) yang berbeda tergantung pada jenis barang yang dijual. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan cara mengambilnya jika dapat diambil dengan tangan.

Jika barang tersebut tidak bisa diambil dengan tangan, seperti mobil, maka penyerahannya dilakukan dengan pemindahan. Sedangkan penyerahan barang tak bergerak dilakukan dengan memberikan akses kepada pembeli, yaitu dengan menyerahkan kunci, sertifikat hak milik atau menghilangkan penghalang yang menghalangi pembeli dari mengambilnya.

Mengkaji ‘urf dalam transaksi keuangan tentu diperlukan ketelitian dan pertimbangan yang matang dari seorang faqih (ahli fikih), karena menjadi tanggung jawab seorang faqih yakni memastikan ‘urf tidak bertentangan dengan nash-nash syariat sebagaimana dinyatakan al-Juwaini di atas.

2. Jual Beli Tanpa ‘Aqd

Para ulama Madzhab Syafi’i kontemporer membolehkan jual beli dengan mu’athah (jual beli tanpa akad lisan) karena syariat membolehkan jual beli tanpa mensyaratkan akad lisan.

Oleh karena itu, harus dikembalikan kepada ‘urf. Adapun yang dianggap masyarakat sebagai jual beli sah secara syar’i adalah jual beli dengan mu’athah.

“لأن الشرع أباح البيع، ولم يشترط له لفظا، فوجب الرجوع إلى العرف، فكل ما عده الناس بيعًا صح شرعًا، والبيع بالمعاطاة يتعامل فيه الناس من غير نكير”. (الأشباه والنظائر, السيوطي, ص ۹۹)

Artinya: “Karena syariat mengizinkan jual beli dan tidak mensyaratkan adanya lafaz tertentu, maka harus dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan). Apa pun yang dianggap sebagai jual beli oleh masyarakat dianggap sah secara syar’i. Jual beli dengan mu’athah (tanpa akad lisan) dipraktikkan oleh masyarakat tanpa keberatan.”

3. Menentukan Ukuran yang Tidak Diatur oleh Syariat

Penentuan ukuran yang tidak diatur oleh syariat. Misalnya, minimal masa haid dan baligh, batasan ini dalam ijtihad ulama dikembalikan kepada ‘urf masyarakat, demikian pula durasi haid dan nifas serta minimalnya.

“ومن الأمثلة على ذلك أقل من الحيض والبلوغ، يرجع فيها إلى عرف الناس، وكذلك قدر زمن الحيض والنفاس وأقله” (المنثور في القواعد الفقهية, الزركشي, ٢: ٣٦٥)

Artinya: “Contoh dari hal ini adalah minimal masa haid dan baligh, yang dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat), begitu juga dengan durasi haid dan nifas serta minimalnya.”

4. Mengetahui Maksud Pembicara

Mengetahui maksud pembicara dari ucapannya. Sering kali pembicara menggunakan istilah-istilah yang memiliki makna tertentu dalam ‘urf masyarakatnya. Maksud pembicara dalam ucapannya mencakup komitmen yang dibuat oleh satu pihak, seperti sumpah dan nazar yang didasarkan pada ‘urf.

Berikut contohnya:

“فلو حلف ألا يأكل لحما فأكل سمكا لم يحنث؛ لأنه لا يُسمى لحما في عرف الناس، وكذلك ألفاظ الواقف والموصي تنزل على العرف”. (القواعد, الحصني, 1:366)

Artinya: “Jika seseorang bersumpah tidak akan makan daging dan kemudian makan ikan, maka ia tidak melanggar sumpah, karena ikan tidak dianggap sebagai daging dalam kebiasaan masyarakat. Demikian pula, istilah-istilah yang digunakan oleh orang yang mewakafkan harta atau yang mewasiatkan sesuatu harus dipahami sesuai dengan kebiasaan (urf).”

5. Penafsiran Akad

Penafsiran akad yang dilakukan oleh dua pihak. Istilah dan syarat-syarat dalam akad jika bersifat umum atau mutlak, maka diartikan sesuai ‘urf. Misalnya, jika seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa menyebutkan harga, maka dianggap harga sesuai pasaran.

“أي: إن ألفاظ العاقدين وشروطهم إذا جاءت مطلقة أو عامة فإنها تحمل على المعنى العرفي، ومن الأمثلة على ذلك التوكيل في البيع المطلق، أي: لو وكل رجل آخر في بيع شيء معين دون أن يذكر ثمن المبيع فإنه يحمل على ثمن المثل”.(القواعد, الحصني, 1:366)

Artinya: “Jika istilah dan syarat dalam kontrak datang dalam bentuk yang umum atau tidak spesifik, maka maknanya harus disesuaikan dengan kebiasaan (‘urf). Contohnya adalah dalam kasus pemberian kuasa untuk jual beli yang tidak ditentukan harganya; jika seseorang memberi kuasa kepada orang lain untuk menjual barang tertentu tanpa menyebutkan harga, maka harga yang dikenakan dianggap sesuai dengan harga pasar.”

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi ‘urf memainkan peran penting dalam penentuan hukum syar’i dan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Mempelajari ‘urf membantu para ahli fiqih atau seorang mufti dalam memahami dan mempertimbangkan apa yang tepat diterapkan oleh masyarakat, menentukan ukuran yang tidak diatur syariat, serta menafsirkan akad-akad yang dilakukan oleh dua pihak. Pengakuan terhadap ‘urf ini memungkinkan fleksibilitas fatwa dan penyesuaian hukum syar’i dengan kondisi dan kebiasaan masyarakat setempat. (*)

Daftar Pustaka

1. Khalil bin Kaykaldi Al-‘Alai, Al-Majmu’ Al-Madzhab fi Qawa’id Al-Madzhab, 1:410.

2. Al-Juwayni, Nihayat Al-Mathlab fi Dirayat Al-Madzhab, 11:382.

3. As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazhair, hal. 99.

4. Az-Zarkasyi, Al-Mansur fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2:365.

5. Al-Hishni, Al-Qawa’id, 1:366.

Penulis: Zanuar Mubin, Muhadir Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan

Editor : Yusuf Arifai

Leave a Comment